Minggu, 29 Juni 2008

Yuk, Bersepakat!


SUATU hari, Bunga menangis. Terguguk-guguk. Dia minta melanjutkan kursus sempoa sementara kami, ayah dan mamanya, meminta dia berhenti saja. Itu tanggal 21 Mei 2008.
Bukannya membela diri, aku melihat belum ada sesuatu yang ‘’berguna’’ buatnya setelah lebih dari dua tahun ikut kursus sempoa di sebuah lembaga kursus di Pati. Alasannya begini: biaya kursus Rp 150 ribu satu bulan (empat pertemuan) kami rasa kurang rasional kalau kami melihat ‘’efek’’-nya. Kami merasa itu terlalu mahal dan apalagi kami agak kurang sepakat dengan sikap dari instrukturnya. Sang instruktur lebih menyerupai ‘’pedagang’’ dan kami tak suka anak kami semata menjadi pembeli yang hanya bisa terbujuk. Apalagi, secara pribadi aku belum 100% percaya soal mental aritmatika yang ditawarkan program itu. (Maaf bagi yang sudah sangat meyakini keafdolan bidang itu. Ini pendapatku pribadi)
Dulu, ketika dia ikut kursus, alasan pokoknya semata agar dia punya aktivitas. Bunga memang tak bisa diam dan harus ada sesuatu yang dia lakukan. Kalau tidak, bawaannya merengek-rengek terus. Itu alasan pokoknya. Tapi ketika waktu Bunga habis untuk sekolah dan les pelajaran, dia jadi sangat sibuk. Maka alasan awal hanyauntuk mengisi waktu seperti sudah tak lagi penting.
Dengan berbagai cara mamanya telah memberi semacam reinforcement kalau Bunga ingin terus berkursus. Sangat sederhana. Dia minta Bunga berhenti dulu, dan nanti kalau nilai matematika di sekolah (nilai tes akhir) sebesar 80, kursus sempoa itu bisa dia lanjutkan. Aku sendiri tak suka kepintaran anak dihitung dari nilai tes suatu mata pelajaran. Aku tak pernah menuntut Bunga, dan juga nanti Dara setelah mulai Juli nanti kelas 1 SD, menjadi anak yang pintar dengan ukuran nilai tes mata pelajaran. Tapi aku bisa memahami ujud reinforcement istriku. Itu hanya taktik memberi si anak semangat.

***
Tapi bukan itu inti cerita ini. Ihwal pokoknya: kami tak ingin Bunga menganggap orangtuanya membunuh minatnya. Dan itu tak mudah.
Hampir seperempat jam dia terguguk. Aku membujuk dia. Mamanya membujuk dia. Dan dia tetap tak terbujuk dan terus terguguk-guguk. Mamanya kembali mengingatkan soal syarat nilai 80 kalau Bunga ingin terus kursus. Sontak aku tertempelak ketika mendengar dia bergumam, ‘’Takut, takut….’’
Aku bertanya, ‘’Takut apa?’’
‘’Takut nggak bisa dapat 80.’’
Alamak, aku tertempelak! Rupanya reinforcement sederhana itu memunculkan persoalan baru. Bunga bukan anak yang tak pintar. Nilai mata pelajarannya berkisar antara 76-96. Matematikanya pun selalu di atas 80. Tapi kenapa dia takut?
Aku berpikir mengenai seorang anak yang takut mengambil risiko tertentu. Bagiku, itu sangat buruk secara psikologis. Dia bisa terbebani ketika bersekolah. Aku tak ingin anakku jadi kehilangan ‘’semangat berjuang’’.
Tapi saya melihat satu titik terang: dia sebenarnya anak yang mau bertanggung jawab terhadap komitmen. Itu sudah dia buktikan berkali-kali. Kami memang sering membikin kesepakatan dalam beberapa hal. Ya, kali ini dia tak ingin bersepakat untuk sesuatu yang masih belum dia yakini bisa mencapainya. Ya dapat nilai 80 itu.
Lalu saya bilang, ‘’Bagaimana kalau 79?’’
Dia menggeleng. ‘’75, dan itu batas terendah.’’
Dia tetap menggeleng. Lalu datanglah Budhenya yang langsung bercerita mengenai anak-anak yang nilainya bagus, juga dalam matematika, tanpa ikut kursus sempoa. Anak dia juga tadinya ikut kursus, tapi dengan alas an serupa kami, dia memberhentikannya. Beruntung anak dia tak banyak menyangkal. Itu beda dengan Bunga. Sejak kecil dia memang ‘’senang’’ membantah.
(Cerita lain, pernah suatu hari kami masak kepiting. Ketika aku memintanya makan kepiting itu, dia bilang, ‘’O bukan, ini bukan kepiting. Ini kerang.’’ Padahal sebenarnya dia sudah bisa membedakan mana kepiting mana kerang. Akhirnya, aku bilang, ‘’Ya sudah, makan kerangnya.’’ Eladalah, dia balas menyahut, ‘’Mana kerangnya, ini kan kepiting…,’’ ujarnya sembari mengambil seekor kepiting dari wajan.)

Kembali ke soal ‘’pidato’’ Budhe-nya itu. Aku agak kurang sepakat dengan pendapatnya. Seperti sudah kubilang, aku tak pernah mengukur pintar dan tidak pintar dari nilai mata pelajaran.
Ketika si Budhe telah berlalu, kembali kubujuk Bunga. ‘’Bukannya Ayah sayang keluarkan uang Rp 150 ribu. Uang itu bisa tetap Ayah berikan pada kamu. Itu kalau kamu sepakat berhenti dulu, dan kalau nilai tes matematikamu 75, ya 75 saja, kamu bisa kembali kursus.’’
Lalu sembari mengambil uang yang memang telah kusiapkan sebesar Rp 150 ribu, aku bilang, ‘’Uang ini bisa kamu tabung. Biar tabunganmu di Mandiri tambah banyak.’’
Dia masih belum menjawab. Mamanya memandangi dia dengan tatapan sedih. Ketika itu aku masih memikirkan cara bagaimana agar dia tak merasa takut mengambil risiko. Ketakutan bagiku itu suatu penyakit psikologis yang tentu tak bagus buat perkembangan mentalnya.
‘’Piye, masih takut?’’
Dia mengangguk. Lalu aku bilang, ‘’Ya sudah. Ini uangnya diterima dulu. Nanti besok Ayah antar untuk ditabung. Ayah janji setiap bulan, kukasih kamu Rp 150 ribu, tapi bukan untuk kursus sempoa. Untuk ditabung. Piye?’’
Matanya tiba-tiba berbinar-binar. Ah, agak lega.
‘’Janji lho, Yah?’’ ujarnya.
‘’Janji. Tapi kamu sepakat berhenti kursus, kan?’’
‘’Ya, tapi janji lho?’’
‘’Iya. Catat saja tanggalnya. Ini tanggal berapa, ah 21. Jadi tiap tanggal 21, tagih saja. Kalau tanggal itu ayah belum pulang (aku memang tinggal di Semarang, dan dalam seminggu hanya sekitar dua hari pulang), pada tanggal itu, hitung saja dendanya. Rp 5 ribu sehari. Deal?’’
Bunga menggenggam uang itu. Aku agak lega. Mamanya juga. Gila juga, dengan anak sendiri harus bernegosiasi layaknya orang mau bertransaksi dagang. Tapi aku harus mengambil tindakan seperti itu. Satu hal yang kudapatkan: anakku bisa diajak bersepakat. Meski namanya kanak-kanak, begitu telah bersepakat, dia minta bonus, ‘’Tapi belikan buku tulis satu dus, ya?’’
‘’Bisa, bisa! Kalau untuk urusan sekolah dan Ayah ada uang, beres.’’
Dan sehari menjelang tanggal 21 Juni, dia menelepon aku, ‘’Tanggal 21 lho, Yah?’’
‘’Oke. Tapi kayaknya tanggal itu Ayah belum bisa pulang.’’
‘’Denda.’’
‘’Oke. Rp 5 ribu satu hari, kan?’’
Apa jawaban dia? Dengan berseloroh, dia bilang, ‘’Rp 7 ribu, Yah, karena BBM juga naik.’’
Aku tertawa. Macam pedagang saja dia. Lalu kubilang, ‘’Tidak. Tetap Rp 5 ribu.’’
‘’Yoi, man.’’
Aku tertawa lagi. Pasalnya, anak yang banyak ‘’makan’’ televisi itu sering benar memanggil ayahnya dengan sebutan-sebutan yang dia dapat dari sinetron atau iklan TV. Sering dia bilang padaku, ‘’Beres, coy.’’ Atau, ‘’Ayah cupu alias culun punya dan katrok.’’ (*)

4 komentar:

Unknown mengatakan...

saroni...
apkab ?
bunga, anakmu ?

Saroni Asikin mengatakan...

Halo? Ini Tyas mana? Puspanjolo? Jakarta?

Anonim mengatakan...

Aduh mon chere, tulisannya diupdate dong. Kan tu as beaucoup d'ecritures. Mampir tempat ku yaaaaa

Unknown mengatakan...

saroni...
masih inget aku?wong purwokerto.sekarang panjenengan dah jadi ayah hebat ya.Bravo,lah!kemarin dulu di Brebes ketemu mba kusriati.dia kasih aku alamat blogmu.